Kampung Adat Dukuh. (Ilustrasi) |
Kabupaten Garut memiliki beberapa kampung adat yang masih menjalani pola kehidupan yang sarat nilai-nilai luhur dan sangat teguh memegang adat dan tradisi leluhurnya. Salah satunya adalah Kampung Adat Dukuh yang terletak di Desa Cijambe Kecamatan Cikelet. Di kampung ini, penghuninya hidup jauh dari kemewahan dan menerapkan pola hidup sederhana seperti diwariskan oleh leluhurnya dari generasi ke generasi.
Kampung Dukuh adalah kampung adat yang memiliki keunikan tersendiri.. Masyarakatnya hidup di rumah-rumah panggung yang sederhana. Bangunan berwujud empat persegi panjang dari kayu atau bambu beratap daun ilalang yang dilapis ijuk. Semua bangunan menghadap ke Barat dan Timur. Di sinilah kesahajaan hidup plus tata nilai yang tulus dalam peradaban masih bisa disaksikan.
Secara geografis, Kampung Dukuh terletak pada ketinggian 390 mdpl dengan suhu rata-rata 26 derajat celcius. Secara administratif, kawasan ini terletak di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, dengan batas-batas sebelah Utara Kampung Palasari (Desa Karangsari), sebelah Selatan Kampung Cibalagung (Desa Cijambe), sebelah Timur Kampung Nangela (Desa Karangsari), dan sebelah Barat Kampung Ciawi (Desa Cijambe).
Kampung Dukuh berjarak 101 km dari ibukota Garut dan 160 km dari Bandung sebagai ibukota provinsi. Untuk pencapaian ke Kampung Dukuh dapat mempergunakan ojeg dari jalan akses dengan biaya Rp 7,000. atau kendaraan microbus dengan tarif Rp 5,000 dari kecamatan Pameungpeuk. Jarak yang ditempuh untuk mencapai Kampung Dukuh adalah 7 km dari ruas jalan Pameungpeuk - Cikelet dengan lebar jalan berkisar 5-6 meter. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan menuju kampung Dukuh sepanjang 2 km berupa jalan desa.
Kampung ini berada di lembah Gunung Dukuh yang dekat mata air. Bentuk bangunan seperti disebut di atas merupakan ketentuan adat dan keharusan yang tidak boleh dilanggar. Sehingga bila dilihat dari atas pegunungan, maka pemandangan Kampung Dukuh tampak bagai kotak-kotak mungil yang tertata rapi dan indah.
Di dalam kawasan Kampung Dukuh terdapat 42 rumah dan sebuah bangunan Mesjid. Terdiri dari 40 Kepala keluarga serta jumlah penduduk 172 orang untuk Kampung Dukuh Dalam dan 70 kepala keluarga untuk Kampung Dukuh Luar. Mata pencaharian utama adalah bertani, beternak ayam, bebek, kambing, domba, kerbau, memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.
Kampung adat ini memiliki luas 10 ha dengan jumlah penduduk 450 jiwa, yang tergabung ke dalam 90 KK. Terdiri dari dua daerah pemukiman yaitu Dukuh Dalam dan Dukuh Luar. Di sebelah Timur kampung ini terdapat satu pranata lain yang juga dihormati. Yakni sebuah pemakaman yang disebut dengan "Makam Karomah" (tanah larangan). Itulah makam pendiri Kampung Dukuh dan kerap diziarahi masyarakat dari berbagai tempat. Hanya saja, tak sembarangan orang boleh memasukinya. Hari ziarah pun ditentukan hanya Sabtu dengan aturan-aturan khas. Ketiganya dibatasi oleh pagar yang terbuat dari kayu dan bambu.
Saat ini, kedudukan Kampung Dukuh sebagai pusat adat hanya merupakan sebuah kampung dari 18 kampung dalam kapunduhan Ciroyom. Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan kampung adat sangat lemah sekali dibandingkan kedudukan Desa yang menjalankan sistem administrasi pemerintahan negara.
Keunikan yang terdapat di Kampung Dukuh selain keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan pemukimannya adalah sistem komunikasi yang diterapkan. Masyarakat pedesaan yang bercirikan homogen, terbingkai dalam aturan- aturan nilai adat yang kuat dan sedikit tertutup membuat komunikasi di kampung tersebut sangat tergantung pada kehadiran sosok opinion leader.
Opinion leader/pemimpin opini di kampung ini bergantung pada ketua adat yang akrab dipanggil Mama Uluk. Pemimpin opini begitu sentral bagi keberlangsungan komunikasi di kampung ini. Pemimpin opini ini secara garis besar dianggap sebagai orang yang lebih tahu dan berfungsi sebagai pihak ‘penerjemah’ pesan/informasi yang berasal dari luar maupun di dalam Kampung Dukuh sendiri.
Sistem komunikasi yang berlaku di kampung Dukuh ini sesuai dengan Model Komunikasi Linear. Model ini didasari paradigma stimulus-respon. Masyarakat kampung sebagai komunikan adalah makhluk pasif, menerima apapun yang disampaikan Ketua Adat (komunikator) kepadanya. Ketua Adat aktif menyampaikan pesan, pesan berlangsung searah dan relatif tanpa umpan balik, karena itu disebut linear. Masyarakat dengan patuh akan melakukan yang disampaikan Ketua Adat karena masih memegang teguh adat keyakinan. Selain aktif menyampaikan pesan, tugas lain dari Ketua Adat adalah menjaga keseimbangan alam dan menjadi pengawal norma-norma adat.
Keluar masuknya informasi dalam lingkungan tertumpu pada hubungan personal. Bentuk komunikasi di kampung Dukuh lebih cenderung kepada komunikasi antar personal dengan menggunakan bahasa Sunda halus. Proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan sekurang-kurangnya satu orang atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui feedbacknya.
Dengan bertambahnya orang yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah kompleks pula komunikasi tersebut. Contoh: ketika akan membangun sebuah rumah di kampung Dukuh, maka dilakukan dengan kerjabakti atau gotong royong yang diinformasikan melalui mulut ke mulut atau rumah ke rumah. Informasi tersebut akan cepat tersebar luas melalui satu orang kepada orang yang lainnya sehingga masyarakat akan turut dalam acara gotong royong tersebut.
Di kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang elektronik. Sebab barang-barang semacam itu dipercaya selain ada manfaatnya, namun mudharatnya lebih besar lagi. Alat makan yang dianjurkan terbuat dari pepohonan dan alam sekitar. Misalnya terbuat dari bambu, batok kelapa dan kayu. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan, karena bahan tersebut tidak mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap kotoran.
Tapi seiring perkembangan waktu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga lambat laun mempengaruhi sistem yang ada di Kampung Dukuh. Ada kebudayaan yang sudah tidak berlaku lagi di masyarakat Kampung Adat Dukuh, yakni: Dulu tata krama ketika akan masuk ke kampung Adat Dukuh tidak boleh memakai sandal dan ketika hujan tidak boleh memakai payung tetapi untuk sekarang ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Entah apa alasannya tetapi hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman.
Terjadi perubahan sosial, di Dukuh Landeuh sudah ada warung yang berjualan kebutuhan sehari-hari seperti jajanan anak-anak, garam, minyak tanah, dan lain-lain. Kuncen membolehkan mereka berdagang, namun tidak boleh mencari untung besar dari dagangannya itu dan niatnya adalah membantu warga dalam memenuhi keperluannya. Namun berdagang makanan matang hasil masakan sendiri tetap dilarang. Kadang ada pedagang yang datang dari luar juga. Kalau orang kampung Dukuh ingin berdagang bebas harus di luar Kampung Dukuh karena larangan hanya berlaku di dalam Kampung Dukuh.
Kemajuan teknologi informasi itu juga mempengaruhi sistem komunikasi linear yang berlaku. Pada zaman dulu, penggunaan barang elektronik sangat diharamkan. Tetapi sekarang ada beberapa warga kampung yang sudah memiliki telepon genggam. Bahkan ketua adatnya sendiri pun memiliki telepon genggam, meskipun telepon genggam tersebut tidak memiliki fitur yang canggih. Masyarakat kampung adat menjadi bebas dalam mengakses informasi, tidak terlalu bergantung pada Ketua Adat.
Tapi terlepas dari mulai memudarnya kebudayaan di kampung adaat dukuh akibat pengaruh teknologi, Masyarakat Kampung Dukuh juga mengajarkan kita tentang kesederhanaan, kebersahajaan dan solidaritas sosial. Di tengah-tengah kehidupan yang sangat hedonis, memudarnya apresiasi terhadap nilai-nilai tradisi sosial yang semakin menggejala, dan persaingan hidup yang kadang melunturkan nilai kemanusiaan kita.
Begitu banyak hal yang bisa diambil dari kehidupan masyarakat Kampung Dukuh. Mulai dari hubungan kemasyarakatan, interaksi dengan alam, hingga pegangan bijak dari adat masyarakat Kampung Dukuh. Semua itu tercermin dari budi yang luhur sebuah masyarakat sunda yang masih memegang teguh budayanya. Kita sudah sepatutnya mensyukuri keaneka ragaman budaya yang ada di nusantara. Selayaknya kita menghargai dan menjaga apa yang menjadi pegangan adat masyarakat kampung Dukuh.
Sumber Rujukan:
https://pariwisata.garutkab.go.id